Minggu, 18 Agustus 2013

KEPALA - KETUA

 (Bentuk Organisasi dan Nama Jabatan pada Organisasi Sosial/Keagamaan)

Keberhasilan sebuah organisasi sosial/keagamaan terlihat dari  tingkat partisipasi anggota/umat berdasarkan kesadaran/iman
   

Organisasi adalah sekumpulan orang yang membentuk wadah dalam rangka mencapai tujuan yang disepakati atau dirumuskan bersama. Dalam menjalankan organisasi untuk mencapai tujuan tersebut, tentu saja harus memperhatikan perkembangan lingkungan dan sudah mnejadi prinsip, bahwa harus selalu ada kejelasan dalam tujuan, pekerjaan dan pembagian tugas. Untuk menjalankan organisasi ini, maka dibentuklah perangkat kerja organisasi atau struktur jabatan, biasa disebut: manajemen, pengurus, badan pekerja, direksi, panitia dan lain-lain, sesuai dengan bentuk organisasi yang ingin dibentuk dan berdasarkan tujuan organisasi. (sedikit teoritis yang kusut, he..he..he..)

Terus.....apa hubungannya dengan judul diatas "KEPALA - KETUA". Kata ini, sering digunakan menjadi julukan atau nama jabatan pada organisasi.  Tentu saja pemberian nama jabatan tersebut dibuat, sudah berdasarkan kajian, pengalaman organisasi, tinjauan historis, pengujian dan sebagainya, bukan asal dibuat, apalagi dibuat-buat. Kepada mereka dibebankan tugas, amanat, tanggung jawab untuk memimpin  dalam mencapai tujuan organisasi. Maka kitapun menghormati, menghargai sang KEPALA dan si KETUA apalagi kalau dia sebagai Kepala Ketua (Kepalanya para Ketua ) atau Ketua Kepala ( Ketuanya para Kepala). Pada organisasi tertentu, misalnya organisasi yang sifatnya menuntut hirarkis atau instruktif, nama jabatan KEPALA atau KETUA adalah tepat.  .
     
Bagaimana pada organisasi sosial/keagamaan ?. Nama jabatan Kepala atau Ketua serta bentuk organisasi yang menghadirkannya, sepertinya kurang tepat  pada manajemen/kepemimpinan  dalam organisasi yang mempunyai misi sosial/keagamaan. Malah sebaliknya, dengan pemberian nama jabatan seperti ini, sang Kepala atau si Ketua akan merasa punya hak untuk dilayani, punya hak untuk diistimewakan punya hak untuk didengar perkataanya serta hak-hak lainnya. Maka  tidaklah heran, apabila kita kemudian  melihat Ketua dalam organisasi keagamaan bertindak layaknya seorang Ketua Partai, Ketua  Adat atau Kepala Daerah dan partisipasi anggota/umat menjadi kecil dan ironisnya partisipasi tersebut kadang bukan timbul atas kesadaran, tetapi atas anjuran, atas rekayasa, atas pengkondisian , sehingga partisipasi tersebut tidak menjadi berkualitas dari sisi keagamaan/bukan berdasarkan IMAN. Tentu saja ini hanyalah kasuistik, bukan terjadi pada setiap lembaga sosial/keagamaan.
   
Kemudian akan timbul pertanyaan, bentuk organisasi bagaimana yang kiranya tepat  pada organisasi sosial/keagamaan  sehingga  dapat meningkatkan partisipasi anggota/umat, dengan kualitas kesadaran yang tinggi sehingga berkualitas sosial/keimanan.  Saat ini, bentuk organisasi dan model kepemimpinan/manajemen, telah berubah, hal tersebut dipengaruhi oleh lingkungan yang juga semakain cepat berubah. Tampilan pemimpin yang kita lihat berhasil saat ini adalah pemimpin yang melayani  (ada kepala daerah menerapkan, dan menjadi sangat berhasil).  Dalam model kepemimpinan seperti ini, tingkat partisipasi anggota juga menjadi sangat tinggi, serta inovasi dan inisiatif  selalu timbul.  Pemimpin yang melayani, bukankah ini misi agung gerakan sosial dan keagamaan. Bentuk organisasinya dibuat sederhana, bukan hierarki, bentuknya mendorong partisipatif bukan menunggu instruksi.  Sehingga pada organisasi fungsional hanya berbentuk koordinator dan pelayanan. Pada organisasi struktural, hanya koordinator, pelayanan dan dewan pengawas. Nama jabatannya dibuat khas sosial/keagamaan atau budaya. Sehingga tidak akan menjadi heran, apabila seorang manajer puncak sebuah perusahaan rela menjadi pemungut sampah dalam sebuah gerakan sosial dan seorang pejabat pemerintah bersuka cita  dalam  pelayanan  mengepel lantai  gereja, masjid atau kuil. 

Tulisan ini hanyalah angin lalu, berhembus tanpa niat mengusik, hanya berlalu dan senyap, wuushhh....... Tidak bermaksud menggurui apalagi mengajari, tidak perlu ditanggapi atau capek-capek membacanya , apalagi memikirkannya. Boleh dicibir, boleh dimaki , boleh juga dikutuk, asal dikutuk jadi  yang baik. 

Tanjungpinang, Agustus 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar