Senin, 26 Oktober 2009

Lau Jahe


Ini cerita masa lalu tentang kampung halaman.

Desa Perbesi, salah satu desa yang cukup besar di Taneh Karo. Memiliki lima kesain. Dua kesain Sebayang dan tiga kesain Sembiring, masing-masing kesain rumah jahe, rumah tengah, depari, muham dan berahmana. Setiap kesain ini, memiliki tempat pemandian sendiri-sendiri (tapin). Rumah Jahe dengan Lau Jahe,Rumah Tengah memiliki Lau Tengah, Muham dengan Lau Rahu, Berahmana dengan Lau Gerbong serta Kesain Depari dengan Pancor Emas (?). Setiap pemandian ini memiliki ke unikan dan cerita yang tak akan habis untuk diceriterakan. Kali ini kami akan bercerita tentang Lau Jahe, pemandian yang sangat kami kenal, tempat kami ditempa untuk menguatkan jantung dan paru-paru kami.

Lau Jahe, dapat dikatakan pemandian yang paling sulit untuk dicapai di bandingkan dengan pemandian kesain lain di Desa Perbesi, jalan berbatu yang terjal dan berliku sepanjang lebih kurang 1000 meter dari kesain Rumah Jahe. Namun bila kita sudah berada di sana, kesejukan dan kejernihan akan menjemput.

Lau Jahe memiliki tiga tempat pemandian. Paling hilir adalah Lau Kite, disebut demikian karena diatas pemadian ini membentang jembatan (kite) dari pohon kelapa utuh menghubungkan kuta Perbesi dengan kuta Pertumbuken. Arusnya deras dan dalam, hampir tidak ditemukan batu disini sehingga sangat nyaman untuk mandi, namun harus sudah memiliki keahlian berenang (enggo beloh erlangi). Lau kite umunya digunakan oleh pria dewasa.

Sekitar 200 meter ke arah hulu ada lau pancor, disebut demikian karena di sini terdapat pancuran (pancor) sebagai sumber air minum, debit pancuran ini cukup besar dan airnya sangat jernih, terletak di bawah rumpun bambu yang rindang, dibawahnya pasir sungai yang bersih, diapit bongkahan batu apung raksasa menjadikan lau pancor sangat ideal bagi para wanita untuk tempat mencuci, mandi dan mengambil air minum. (selain pancur siwah di Batu Karang, dan pemandian Bintang Meriah, saya belum menemukan pancuran se-segar ini).

Sekitar 200 meter lagi ke arah hulu, ada pemandian ketiga yang disebut Lau Batu Galang, disebut demikian karena di tengah sungai di pemandian ini, terdapat batu yang besar (batu galang). Pemandian ini memiliki area rumput buaya hijau yang luas, dahulu pemandian ini sering dijadikan tempat untuk berlangir (erpangir ku lau) mungkin karena lapangan dan batunya yang besar. Pemandian ini lebih disukai oleh pemuda (anak perana), untuk mandi disini mempunyai kesulitan tersendiri, arusnya deras dan berbatu serta memiliki tantangan untuk mencapai batu besar di tengah sungai dan berdiri di atasnya.

Ketiga pemandian ini bagian pembentuk karakter kami dari Rumah Jahe. Pagi dan sore hari, kami pasti akan mandi di salah satu pemandian ini, kaki haruslah cukup kuat untuk naik dan turun menyusuri jalan curam dan terjal, harus mempunyai keberanian melawan derasnya sungai dan menghindari bebatuan serta mengalahkan ketakutan akan cerita-cerita mistis tentangnya.

Setelah mandi di lau jahe, langkah di bawa melewati jalan berpasir putih dibawah rimbunan pohon bambu, terjal dan tanah berbatu, berhenti sejenak mengambil nafas di atas undakan akar bambu sambil menatap ke arah sungai di bawah, suara sungai yang bergemuruh menyanyikan suara alam menenangkan jiwa, sayup terdengar kokok ayam jantan dari kampung di atas, mengajak untuk segera mencapai desa. Kembali kaki melangkah tergesa untuk mencapai pemberhentian terakhir, undakan di bawah pohon kelapa di tepi desa, keringat membanjir di punggung sementara derau suara sungai masih terdengar di kejauhan.


Bumi Cipulir, Okt 2009.

2 komentar:

  1. upload ndu ras photo2 na... Glah puas mbacasa...

    BalasHapus
  2. Lanai lit sada pe tapin ndai, enggo i tadingken janahpe paler lau enggo berubah perban i buati nai batu ras kersikna.

    BalasHapus