Tahun 1979
Kabut masih menyelimuti desa Perbesi, dari Kesain Rumah Jahe yang berada di Timur desa bersama teman-teman lain kami berjalan beriringan, membawa buku-buku lusuh yang sudah tidak bersampul atapun kalau masih ada sampulnya sudah robek-robek karena tidak pernah mengenal tas sekolah, kaki dengan tegar menapak bumi Talah Sirulo, tanpa alas kaki. Di depan kedai-kedai kopi Rumah Tengah (Kede Ndoh) mengebul asap dari bakaran sabut kelapa dimana beberapa orang tua berdiang (cudu) sambil membungkus tubuhnya dengan sarung (kampoh), Inilah perjalanan kami setiap hari ke sekolah di Sembelang, sekitar 2 Km dari desa Perbesi.
Perjalanan ke sekolah ini melewati Lau Gerbong dengan jembatan membentang diatasnya, megah angkuh dan menantang. Sambil berlari melewati jembatan ini, kami selalu berlomba menuju bawah jembatan untuk mandi dan bermain di sungai sebelum sampai di sekolah. Dengan bertelanjang badan berlari keatas jembatan dan melompat ke sungai, memberi sensasi perut seperti di tekan, mirip apabila kita naik pesawat dan tiba-tiba berubah ketinggian. Sering kemudian terlambat sampai di sekolah, pak guru di depan kelas dengan penggaris papan tulis ditangannya menunggu, namun saya tidak pernah merasakan sabetannya. Pulang sekolah hal yang sama terulang, mandi sepuasnya di Lau Gerbong sampai perut terasa lapar, baru pulang ke desa.
Tahun 2009.
Itu dulu, sekarang lau Gerbong sudah sedikit berubah, sungainya sudah lebih kecil, jembatan kenangan itu sudah diganti walaupun masih ada, namun tidak seangkuh dulu lagi, sudah jarang anak SD yang mandi sambil bermain diatasnya. Maka kejingkang ken nahengku nadingken lau Gerbong, mulih ku Kota Jakarta, tading kam Lau Gerbong Simalem, si enggo narohken aku ngepari lau simbelang.
Perjalanan ke sekolah ini melewati Lau Gerbong dengan jembatan membentang diatasnya, megah angkuh dan menantang. Sambil berlari melewati jembatan ini, kami selalu berlomba menuju bawah jembatan untuk mandi dan bermain di sungai sebelum sampai di sekolah. Dengan bertelanjang badan berlari keatas jembatan dan melompat ke sungai, memberi sensasi perut seperti di tekan, mirip apabila kita naik pesawat dan tiba-tiba berubah ketinggian. Sering kemudian terlambat sampai di sekolah, pak guru di depan kelas dengan penggaris papan tulis ditangannya menunggu, namun saya tidak pernah merasakan sabetannya. Pulang sekolah hal yang sama terulang, mandi sepuasnya di Lau Gerbong sampai perut terasa lapar, baru pulang ke desa.
Tahun 2009.
Itu dulu, sekarang lau Gerbong sudah sedikit berubah, sungainya sudah lebih kecil, jembatan kenangan itu sudah diganti walaupun masih ada, namun tidak seangkuh dulu lagi, sudah jarang anak SD yang mandi sambil bermain diatasnya. Maka kejingkang ken nahengku nadingken lau Gerbong, mulih ku Kota Jakarta, tading kam Lau Gerbong Simalem, si enggo narohken aku ngepari lau simbelang.
Ersentabi aku man bandu..numpang mbere komentar ateku.
BalasHapuspetandaken aku gelarku Elfirman Yusuf "Jusup" sebayang..Arah Kesain Rumah Jahe, Sebayang jambur Merpati..
Aku kelahiren tahun 1982, salah sada Putera Perbesi simerasa bangga erkutaken Perbesi. sekolah SD ras SMP ilepar Lau Gerbong ah..Ngenanami denga ridi ilau gerbong e kenca mulih sekolah..Sungguh terharu aku nginget2sa perjuangen ikuta. gundari aku erdahin iJambi, PNS lulusan STAN..sada ateku man katanken man banta kerina, Anak perbesi kalak beluh nge kerina. la kita mela ngataken anak perbesi..mari sipererat pergaulennta guna mbangun kutata e..
banci i hubungindu aku i sebayang.sebayang@gmail.com
bujur ras mejuah-juah...
Oke bun, maju terus, tutus erdahin ula nakal-nakal.
BalasHapusaku vhanhellen sebayang
BalasHapusvhanhellensebayang@yahoo.com
asal kabanjahe
rumah ndepih...jambur berneh nari
baci nge aku ajari'ndu turin-turin sebayang enda
bujur ras mejuah-juah kita kerina