Kuta kemulihen atau kampung asal barangkali begitu disebut dalam Bahasa Indonesia adalah kampung dari suatu marga, dari kampung tersebutlah seseorang atau nenek moyangnya berasal dan biasanya didirikan oleh marga tersebut, maka kita mengenal kuta kemulihen marga Ginting di Suka, Tarigan di Juhar, Sebayang di Perbesi, Kuala dan sebagainya. Namun ada juga kuta kemulihen yang bukan didirikan oleh marga namun biasanya marga tersebut sudah memiliki Kesain di kampung tersebut, seperti kuta kemulihen Sembiring Depari ada di Perbesi, dsb.
Kuta Kemulihen sebetulnya adalah manifestasi dari suku Karo yang menganut faham Patrilineal, geneologis dan teritorial. Adalah kurang sempurna bagi orang Karo bila tidak dapat menelusuri asal usul keturunan orangtuanya (Patrilinel-geneologis) dan darimana asal kampungnya (Teritorial). Salah satu identitas Karo adalah adanya ikatan dan hubungan dengan Kuta Kemulihen.
Dalam perkembangan, konsep budaya ini semakin terkikis dan terkoreksi oleh pola kehidupan yang berubah akibat idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dll serta dipercepat oleh teknologi dan informatika. Maka banyak kemudian yang tidak lagi peduli dengan konsep Kuta Kemulihen, dan tinggal menunggu waktu maka identitas Karo akan Kuta Kemulihen, Kuta Panteken akan musnah.
Salah satu penyebabnya adalah jual beli tanah di kampung, tanah dijual kepada orang yang bukan penduduk asal atau bukan pemilik marga, maka lama kelamaan, tanah di kampung tersebut dimiliki oleh orang asing atau bukan pemilik marga. Hal lain adalah semakin tidak dipatuhinya pelaksanaan hukum adat, bahwa tanah adalah milik kampung atau milik marga, tidak boleh dijual belikan dan hanya boleh diwariskan kepada anak laki-laki. Maka kemudian terjadilah Kuta Kemulihen dimiliki oleh marga lain, jangan heran bila sekarang kita temui, Kuta Kemulihen Ginting Mergana, Tarigan, Peranging-angin dihuni dan dimiliki oleh suku atau marga lain. Maka kemudian ada pembicaraan ertutor :
" Siapai dage Mergandu ?."
" - Sebayang".
dst .....
"Ja Kuta kemulihenta ?".
" Ih... Nini nai Perbesi nari, tapi aku labo pernah kujah, la kuteh ja pe Perbesi e.
Maka akan hilanglah Identitas Karo, sebutan-sebutan seperti : Sibayak Kuala, Pulu Limang, Sibayak Kuta Buloh, dll yang menjadi sebutan menunjukkan Marga akan hilang dan tidak membawa makna, bagaimana bisa disebut Sibayak Kuala, Pulu Limang dll kalau sudah tidak memiliki ikatan lagi dgn kampung tersebut ( Lanai lit tanda-tandana).
Catt. Gambar diambil dari http://www.geocities.com/putrakaro/tanahkaro.html