Tahun 2009, ketika kami dinas di Padang, atas pertimbangan kemungkinan tidak akan lama berdinas di sana, sementara dia akan memasuki kelas 3 SMP, akan sulit untuk pindah sekolah, ditambah gempa bumi yang pada saat itu sering terjadi, dia kami pindahkan ke Medan, tinggal bersama Pak Tuanya di sana. Dia kemudian berada di Medan sampai menamatkan SMA-nya. Berpindah sekolah, sudah lajim bagi keluarga kami, Anak kami Denis bersekolah di 2 TK, 3 SD dan 3 SMP di kota yang berbeda, hal yang sama dialami adiknya Kezia Ivana.
Setelah tamat SMA di Medan
tahun 2014 dia kuliah di ITB Bandung, walaupun tidak jauh dari
Bekasi, kembali tinggal berpisah dari kami, hidup sebagai anak kost di wilayah Dago,
Bandung. Kuliahnya diselesaikan tahun 2018.
Sempat tinggal di
rumah selama hampir ½ tahun setelah wisuda S-1, tahun 2019 dia diterima sebagai pegawi di PLN. Setelah
mengikuti pelatihan di kawasan Puncak, Bogor. Dia ditempatkan ke Manado kemudian
ke Palu sampai akhir tahun 2023. Dan sekarang, dari bulan Februari 2024 akan menempuh pendidikan S-2 di Australia.
Tahun 2024 ini, anak kami Denis akan memasuki usia 27 tahun dan hampir 14 tahun berpisah tempat tinggal dengan kami. Sebagai orang tua, selama tahun-tahun tersebut, banyak kekhawatiran dalam pikiran, apakah dia bisa membawa diri, apakah sudah cukup bekal agamanya, sikap sosialnya, caranya menjaga diri dan sebagainya. Dan saat ini, kembali dia tinggal terpisah dengan kami.
Bagaimanakah seharusnya sikap kita sebagai orang tua ? Kami sendiri sebenarnya hidup serumah dengan orang tua hanya sampai kelas 6 SD, sejak SMP sudah berpisah tempat tinggal untuk melanjutkan sekolah.
Nai, rumah dengan nande beru
Ginting, adi ngerana-ngerana kita kerna sinuan-sinuan si la bagi ukur
perturahna, enggo dung merdang wari lenga udan, entah kempuna sikitik denga
berkat ku sekolahna sisada, entah lit kade-kade lawes ku ingan si ndoh, lit
kalak njabuken bana nguda denga ka. Sisungkun ia, uga kari e ninta, maka nina “LIT
NGEN DIBATA-NA“.
Beginilah barangkalai jalan hidup, jauh dan berliku. Kekuatan kami hanyalah doa, kiranya Tuhan menjaga anak-anak kami, Amin.
Kahlil Gibran menuliskan puisi :
“Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah
hidup. Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia
melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.
Biarlah tubuhmu yang melengkung di tanganNya merupakan kegembiraan. Sebab,
seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat, Ia pun mencintai busur yang
kuat”.
Anak
adalah anak panah dan orangtua adalah busurnya, orang tua telah melengkung untuk
menghantar dia ke kehidupannya, biarlah sekarang anak panah itu melesat dalam
kehidupannya dengan arah yang ditentukan oleh Tuhan Sang Pemanah. Sudah waktunya barangkali jangan terlalu khawatir.